Showing posts with label Islam inside. Show all posts
Showing posts with label Islam inside. Show all posts

Listrik Majapahit

Listrik Majapahit
Apakah satu dua malam akhir-akhir ini listrik di tempat Anda suka ngaso*)
juga seperti di kampung saya? Derita dan keterpepetan membuat orang sewot,
marah, jengkel, atau justru kreatif. Paling tidak, kita jadinya bisa
menyelenggarakan diskusi gratis, tanpa budget macam-macam termasuk "uang tak
terduga" yang sudah kita duga secara persis.

Begitu sang listrik 'tidur', teman-teman di rumah kontrakan saya mengomel.
"Terasa sekali betapa kita ini tergantung kepada alat-alat yang kita
ciptakan sendiri," kata seseorang.

"O, ya! yang lain nyeletuk, "Di zaman Maapahit sudah ada minyak tanah atau
belum ya?"

Kemudian diskusi menjadi riuh, dan saya bersyukur tidak sedang ada tamu
seorang sejarawan. Sebab dia bisa dijawabnya secara persis.

Kita tahu Gajah Mada bersumpah, Ranggalawe cemburu sosial, Raden Wijaya
menjebak pasukan Cina, Suhita didongengkan sebagai Kencanawungu, Perang
Bubat membawa dampak psikologis berabad-abad.

Tapi kita tak tahu, dan tak berminat tahu, bagaimana persisnya kostum harian
orang Majapahit, apakah mereka pakai jarum untuk dondom,**) atau bagaimana
orang dusun misuh"*) waktu itu, atau apa saja kek.

Kita hanya tahu hal-hal mengenai kekuasaan. Kita membikin buku pelajaran dan
mengisi jiwa siswa-siswa sekolah dengan hal-hal mengenai kekuasaan.

Kita mengerti Gajah Mada, karena diejek, cancut tali wanda, rnenggenggami
kerajaan-kerajaan di sekitarnya, nglurug****) sampai Muangthai segala.
Termasuk Ekspedisi Pamalayu yang berkepanjangan.

Lepas dari kita setuju atau tidak, tapi jarang awak berpikir bahwa Gadjah
Mada melakukan itu tanpa walky talky, tanpa teknologi militer yang kini bisa
memusnahkan bumi dengan sejentikan jari, tanpa kapal berapi, tanpa pesawat
tempur
, tanpa satelit yang bisa mendeteksi dari angkasa - apakah di
Kecamatan Wonokromo ada pabrik senjata atau tidak.

Lha sekarang ini listrik mati seperti kehilangan Tuhan rasanya. Kalau motor
macet, kita sudah hampir tak punya mentalitas untuk pakai sepeda. Kalau baju
robek, malu pakai - seolah sama dengan dosa tak sembahyang Jumat. Kita juga
tak berani jalan-jalan di Malioboro tanpa sepatu atau sandal.

Emha Ainun Nadjib

*) Ngaso: istirahat.

**) Dondom: menjahit tidak dengan mesin.

***) Misuh: mengomel.

****) Nglurug: bertandang.

Peringatan dan Amarah

Peringatan dan Amarah
Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya
bertambah terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang
sedang menjadi Guru” dan “yang akan menjadi Guru”.



Tak ada seseorang atau sesuatupun yang pernah mengajari saya lantas tidak
lagi menjadi Guru saya.


Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin
mengajar saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru
kepada mereka dengan penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten
untuk marah kepada saya. Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering
diperingatkan atau dimarahi oleh Gurunya supaya tidak terlalu mblunat?


Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin saya
ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras,
dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami,
bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi
murid yang baik, semua itu senantiasa saya terima dengan rasa syukur.


Ketika saya msuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk pesantren
hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita menamatkan
pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi menantu
seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.


Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah
sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena
lantas saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau
jadi penyair? Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang
penyair-penyair pengingkar Allah?”


Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya
tidak berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai
sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.


Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya sibuk
dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah kamu
mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya
mengawinkan sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi:
“Jangan main-main dengan Islam! Jangan campur adukkan nilai sakral Agama
dengan khayalan-khayalan sastra!”.


Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak cukup.
Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak bisa
membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan
ummat dan lain sebagainya!”.


Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat. Jadi
semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan lain
orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda
protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme nilai
kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam bisa saya
terapkan.


Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah ada yang
ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan
macam-macam!”.


Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu tidak
bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu salah satu OPP,
saya diperingatkan: “Kamu kehilangan independensi!”.


Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan itu
memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya didaftar di
pengurus pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap
anggota pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya tatkala karena suatu
bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan: “Rupanya
kamu memang bukan anggota pasukan!”.


Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya diingatkan:
“Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak ilmuwan
barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari sastra, politik,
sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja – dengan acuan Quran dan
Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir liar! Jangan
seenaknya mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.


Ketika saya menulis tentag sesuatu yang makro dan suprastruktural, saya
dijewer: “Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya
mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok:
“Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturrahmi dan
musyawarah!”.


Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu tidak
rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu
komersial!”.


Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu wasyrabuu!
Makan dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari rejeki, saya
ditonyo: “Kamu menuhankan uang dan harta benda!”.


Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu
saya sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu….
Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya….kau tak
punya!”.


Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel ngomong
ngunu!”. *****


Emha Ainun Nadjib,

Yang Mana Yang Jantan?? (renungan)

Yang Mana Yang Jantan?? (renungan)
Saya dipercayai oleh kumpulan koperasi orang sedesa untuk memutar atau
meniagakan uang yang mereka kumpulkan, agar menghasilkan laba yang bisa
menambah daya ekonomi para warga koperasi dan seluruh penduduk desa. Tapi
setelah sekian lama managemennya saya pegang, ternyata akhirnya bangkrut,
sehingga kami semua dililit hutang dan terpaksa mengemis-ngemis lagi cari
utangan yang baru. Saya ingin bersikap jantan, tapi saya bingung yang
bagaimana yang disebut jantan.

Apakah saya harus berkata: "Para anggota koperasi dan warga desa sekalian,
kalau saya melepaskan hak atas managemen ini gara-gara bangkrut, berarti
saya tinggal gelanggang colong playu, alias saya lari dari tanggung jawab".
Ataukah saya harus berkata: "Saudara-saudara sekalian, sebagai bentuk
tanggung jawab saya atas kebangkrutan kita, maka dengan ini saya
mengundurkan diri, mengembalikan hak yang saudara-saudara amanatkan, dan
sekarang saya pasrah mau diapakan saja oleh saudara-saudara. .."

Emha Ainun Nadjib

Serigala Berbulu Ulama (renungan)

Serigala Berbulu Ulama (renungan)
Sepasang merpati yang sedang bertengger di cabang pohon melihat seorang alim
datang dengan sebuah buku yang dikepit di satu tangan dan tongkat di tangan
yang lain.

Seekor merpati berkata pada yang lain, "Mari terbang, orang itu bisa
membunuh kita."

Pasangannya menyahut, "Dia bukan pemburu. Dia seorang ulama, tidak akan
membahayakan kita."

Sang ulama melihat keberadaannya dan seketika memukulkan tongkatnya ke
merpati betina, lantas ia sembelih agar dagingnya menjadi halal.

Merasa dizalimi, pasangannya mengadu kepada Nabi Sulaiman AS.

Ulama itu pun dipanggil ke istana. "Kejahatan mana yang saya lakukan?"
sanggahnya. "Bukannya daging merpati itu halal," lanjutnya.

Merpati jantan menimpal, "Saya tahu bahwa hal itu halal bagimu. Tetapi, jika
datang untuk berburu, engkau semestinya mengenakan pakaian seorang pemburu.
Engkau curang dan datang sebagai ulama."

Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban

Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban

Hewan yang disembelih untuk qurban itu ditujukan untuk tiga hal, yaitu dimakan sendiri, dihadiahkan atau disedekahkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadist riwayat Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah membagi daging kurban menjadi tiga, sepertiga untuk keluarganya, sepertiga untuk fakir miskin dan tetangga dan sepertiga untuk orang meminta-minta

Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w. bersabda: "Makanlah sebagian, simpanlah sebagian dan bersedekahlah dengan sebagian".

Adapun panitia penyembelihan hewan qurban sesungguhnya secara syar’i tidak diisyaratkan untuk dibentuk, sehingga dari segi pembiayaan pun tidak dialokasikan dana secara syar’i. Hal ini berbeda dengan amil zakat, yang memang secara tegas disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem sebagai salah satu mustahiq zakat.

Siapa yang menjual kulit qurban itu maka tidak dianggap qurban baginya.

Maka bila seseorang meminta jasa orang lain untuk disembelihkan hewan qurban miliknya, tetapi dengan imbalan berupa kulit hewan itu menjadi milik tukang jagalnya, maka tidaklah termasuk qurban, sesuai hadits di atas.

Demikian juga dengan panitia penyembelihan dan pendistribusian hewan qurban, seharusnya mereka punya kas tersendiri di luar dari hasil hewan yang diqurbankan. Boleh saja panitia mengutip biaya jasa penyembelihan kepada mereka yang meminta disembelihkan. Hal seperti ini sudah lumrah, misalnya untuk tiap seekor kambing, dipungut biaya Rp 30.000 s/d Rp 50.000. Biaya ini wajar sebagai ongkos jasa penyembelihan hewan dan pendistribusian dagingnya, dari pada harus mengerjakan sendiri.

Tetapi panitia penyembelihan hewan qurban dilarang mengambil sebagian dari hewan itu untuk kepentingan penyembelihan. Baik dengan cara menjual daging, kulit, kepada atau kaki. Demikian pula dengan masjid, tidak perlu masjid dibiayai dari hasil penjualan daging qurban, sebab daging atau pun bagian tubuh hewan qurban itu tidak boleh diperjual-belikan.

Termasuk dalam hal ini jasa para tukang potong, haruslah dikeluarkan dari kas tersendiri, di luar dari hewan yang dipotong.

Ali ra. berkata, Aku diperintah Rasulullah menyembelih kurban dan membagikan kulit dan kulit di punggung onta, dan agar tidak memberikannya kepada penyembelih. .

Memberikan kulit atau bagian lain dari hewan kurban kepada penyembelih bila tidak sebagai upah, misalnya pemberian atau dia termasuk penerima, maka diperbolehkan. Bahkan bila dia sebagai orang yang berhak menerima kurban ini lebih diutamakan sebab dialah yang banyak membantu pelaksanaan kurban.

Bagi pelaku kurban juga diperbolehkan mengambil kulit hewan kurban untuk kepentingan pribadinya. Aisyah r.a. diriwayatkan menjadikan kulit hewan kurbannya sebagai tempat air minum.

WAKTU PENYEMBELIHAN KURBAN

Waktu penyembelihan kurban mulai dari setelah sholat Ied di hari raya kurban sampai terbenam matahari pada hari terakhir Tasyriq yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Sehingga hari penyembelihan ialah empat hari : satu hari di hari raya kurban setelah shalat Ied dan tiga hari setelahnya. Barangsiapa menyembelih kurban sebelum selesai shalat Ied atau setelah terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijjah, maka kurban tdk sah. Ada yg mengatakan bahwa waktu penyembelihan ha dua hari setelah Ied saja, dan menurut pendapat ini hari penyembelihan hanya tiga hari saja. Tetapi yg rajih ialah pendapat yg pertama.

Dibolehkan menyembelih kurban di waktu siang atau malam, namum penyembelihan di siang hari lebih utama. Setiap hari dari hari-hari penyembelihan lebih utama dari hari setelahnya, krn mendahulukan sembelihan termasuk sikap bersegera melaksanakan ketaatan.

An-Nawawi Rahimahullah berkata : Adapun waktu berkurban, maka sepatut menyembelih setelah shalat bersama imam dan ketika itu sah secara ijma. Ibnul Munzdiri Rahimahullah berkata :“Mereka telah berijma bahwa penyembelihan kurban tdk boleh dilakukan sebelum terbit matahari pagi hari raya kurban. Dan mereka berbeda pendpt pada penyembelihan setelahnya.

Ibnu Hajar Rahimahullah berkata :“Mereka sepakat bahwa kurban disyariatkan juga di malam hari sebagaimana disyariatkan di siang hari, kecuali satu riwayat dari Imam Malik dan juga Imam Ahmad.

KURBAN SAH UNTUK BERAPA ORANG ?

Satu kurban berupa kambing cukup untuk seorang dari ahli bait (keluarganya) dan kaum muslimin yg ia kehendaki, baik masih hidup ataupun sudah wafat. Telah diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyembelih kurbannya, beliau berkata: " Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarda Muhammad dan umat Muhammad".

Sepertujuh untuk unta atau sapi mencukupi dari orang yg cukup untuk satu kambing. Seandai seorang muslim menyembelih sepertujuh unta atau sapi untuk dan keluarganya, maka itu ialah sah, dan seandai untuk tujuh orang brserikat menyembelih kurban atau hadyu, satu unta atau satu sapi, maka itupun sah.

ORANG YANG DISYARIATKAN BERKURBAN:

Pada asal kurban itu disyariatkan untuk oang yg masih hidup, berdasarkan riwayat yg mengatakan bahwa beliau telah menyembelih hewan kurban untuk diri dan kelaurganya.

Adapun peruntukan sebagian orang yg mendahulukan kurban untuk mayit atas diri dan keluarga sebagai shadaqah dari mereka, maka amalan ini tdk mempunyai dasar menurut apa yg kami ketahui. Namun, seandai ia berkurban untuk diri dan keluarga lalu memasukkan orang-orang yg telah meninggal dunia bersama mereka atau menyembelih kurban untuk mayit secara sendirian sebagai shadaqah darinya, maka hal itu tdk mengapa dan ia mendpt pahala, insya Allah

Adapun kurban untuk orang yg telah meninggal dunia yg mrpk wasiat (orang yg mati) kpdnya, maka ini wajib dilaksanakan, walaupun ia belum berkurban untuk diri sendiri, krn ia diperintahkan untuk melaksanakan wasiat tersebut

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Berserikat Dalam Kurban Dan Bershadaqah Dengan Nilainya:

Seekor kambing tdk bisa untuk dua orang atau lebih yg kedua membeli dan menyembelih kurban tersebut, krn hal itu tdk terdpt dalam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana tdk boleh berserikat lebih dari tujuh orang dalam satu unta atau satu sapi, krn ibadah itu tauqifiyah (semata bersandar kpd wahyu). Yang benar dan boleh hanyalah berserikat tujuh orang atau kurang dari itu dalam satu unta atau sapi. Hukum ini berlaku tdk pada permasalahan pahalanya, krn tdk ada batasan jumlah berserikat dalam pahalanya, krn keutamaan Allah itu sangat luas sekali.

Disini wajib diingatkan akan kesalahan yg dianggap remeh oleh sebagian orang yg memiliki tanggung jawab melaksnakan wasiat, dimana ia mengumpulkan wasiat-wasiat lebih dari satu kerabat dalam satu kurban untuk semua. Ini tdk bolehkan. Namun, jika yg berwasiat ialah seorang yg berwasiat dgn beberapa kurban lalu ia kumpulkan dalam satu kurban, maka hal itu tdk mengapa, is Allah.

BERSHADAQAH DENGAN NILAINYA

Penyembelihan kurban termasuk salah satu syi'ar agama Islam yg jelas, oleh krn itu menyembelih lebih utama dari bershadaqah senilainya, dgn dasar sebagai berikut.

[1]. Penyembelihan kurban ialah amalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat beliau dan orang-orang setelah mereka dari para Salaf umat ini.

[2]. Penyembelihan termasuk syi'ar Allah, seandai manusia berpaling dari kpd shadaqah senilai kurban tersebut, tentulah syi'ar penyembelihan kurban ini akan hilang.

[3]. Penyembelihan kurban ialah ibadah yg tampak sedangkan shadaqah dgn senilai dimaukkan dalam ibadah yg tdk nampak.

[4]. Seandai bershadaqah senilai sama dgn nilai penyembelihan kurban atau lebih baik, tentullah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dgn ucapan atau peruntukan, krn beliau tdk pernah meninggalkan satu kebaikan kecuali beliau telah menunjukkan dan tdk pula satu kejelekan pun melainkan beliau telah memperingatkan darinya.

[5]. Sudah dimaklumi bahwa shadaqah dgn nilai kurban tersebut lebih mudah dan lebih gampang dari menyembelih krn ada kesulitan yg telah diketahui oleh orang yg menemani penyembelihan dan mendahului pada banyak keadaan. Seandai bershadaqah dgn harga kurban tersebut lebih utama atau sama, pasti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskannya, sebab beliau ialah orang yg sangat menyaygi umat dan sangat pengasih terhadap mereka. Beliau ialah orang yg selalu memilih perkara yg paling mudah dan ringan untuk umatnya. Dengan demikian, diketahui secara pasti bahwa penyembelihan ialah utama. Wallahu alam.

Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan :“Al-Udhiyah (kurban), Aqiqah dan Al-Hadyu lebih utama dari shadaqah senilainya. Jika ia memiliki harta untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kpd Allah, maka hendaklah ia berkurban, dan memakan dari sebagian kurban lebih utama dari shadaqah dan Al-Hadyu di Makkah lebih baik dari bershadaqah senilainya.[1]

Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan :“Penyembelihan di tempat lebih utama dari shadaqah dgn senilainya. Beliau melanjutkan perkataanya :“oleh krnnya, seandai ia bershadaqah dgn nilai yg berlipat ganda sebagai ganti sembelihan haji Tammatu dan sembelihan haji Qiran (Dam Al-Qiran), maka ia tdk dpt menggantikannya. Demikian juga kurban.

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Bacaan Menyembelih Kurban:

Adapun dalam semebelihan hewan qurban disunahkan membaca doa: "Bismillahi Wallohu Akbar Allohumma taqobbal minni". Karena dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir RA, ia berkata: "Aku pernah melaksanakan sholat Iedul Adha bersama Rasulullah SAW, tatkala beliau selesai melaksanakannya, beliau datang sambil membawa seekor kambing yang besar lalu beliau menyembelihnya, dan berdoa: Bismillahi wallohu akbar Allohumma haadzaa anni wa amman lam yudhohhi min ummati (Dengan menyebut nama Alloh, Alloh Maha Besar, Ya Alloh ini adal kurban dariku dan dari umatku yang tidak mampu untuk melaksanaknnya) (HR Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzy- Nailul Author 5/109)

Tingkatan dan Jenis Hadits


Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita

Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif.

1. Hadits Yang Diterima (Maqbul)

Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua):

1. 1. Hadits Shahih

1. 1. 1. Definisi:

Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah:

Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.

Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah:

Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.

1. 1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih:

Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:

  • Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
  • Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya
  • Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.
  • Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)
  • Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.

1. 2. Hadits Hasan

1.2.1. Definisi

Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkan secara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan:

Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.

At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:

Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan.

Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:

Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya.

Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba''i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha'' bagi penduduk kalangan Makkah.

Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.

Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.

1.2.2. Klasifikasi Hadits Hasan

Hasan Lidzatih

Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.

Di antara contoh hadits ini adalah:

"Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat"

Hadits Hasan lighairih

Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu''adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada ''Adhid, maka kedudukannya dhaif.

Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:

"Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya.

Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari ''Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa ''Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.

Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid.

Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul).

Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih

Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.

* * *

2. Hadits Mardud (Tertolak)

Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak.

Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah.

2.1 Definisi:

Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.

Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.

2.2. Penyebab Tertolak

Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu:

2.2.1 Adanya Kekurangan pada Perawinya

Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:

  • Dusta (hadits maudlu)
  • Tertuduh dusta (hadits matruk)
  • Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
  • Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
  • Menyalahi riwayat orang kepercayaan
  • Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
  • Penganut Bid’ah (hadits mardud)
  • Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

2.2.2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung

  • Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
  • Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
  • Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
  • Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’

2. 2. 3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah

Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu

Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya

2.3. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif

Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain.

Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha''if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a''mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya).

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha''if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah.

Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.

Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW:

Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim)

Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu'' (palsu).

Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.

Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha''if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar.

Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat.

Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain:

  1. Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya.
  2. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah.
  3. Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu.

Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadits, dilihat dari sudut apakah hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu tertolak.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,