Peringatan dan Amarah

Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya
bertambah terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang
sedang menjadi Guru” dan “yang akan menjadi Guru”.



Tak ada seseorang atau sesuatupun yang pernah mengajari saya lantas tidak
lagi menjadi Guru saya.


Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin
mengajar saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru
kepada mereka dengan penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten
untuk marah kepada saya. Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering
diperingatkan atau dimarahi oleh Gurunya supaya tidak terlalu mblunat?


Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin saya
ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras,
dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami,
bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi
murid yang baik, semua itu senantiasa saya terima dengan rasa syukur.


Ketika saya msuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk pesantren
hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita menamatkan
pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi menantu
seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.


Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah
sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena
lantas saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau
jadi penyair? Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang
penyair-penyair pengingkar Allah?”


Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya
tidak berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai
sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.


Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya sibuk
dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah kamu
mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya
mengawinkan sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi:
“Jangan main-main dengan Islam! Jangan campur adukkan nilai sakral Agama
dengan khayalan-khayalan sastra!”.


Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak cukup.
Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak bisa
membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan
ummat dan lain sebagainya!”.


Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat. Jadi
semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan lain
orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda
protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme nilai
kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam bisa saya
terapkan.


Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah ada yang
ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan
macam-macam!”.


Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu tidak
bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu salah satu OPP,
saya diperingatkan: “Kamu kehilangan independensi!”.


Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan itu
memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya didaftar di
pengurus pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap
anggota pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya tatkala karena suatu
bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan: “Rupanya
kamu memang bukan anggota pasukan!”.


Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya diingatkan:
“Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak ilmuwan
barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari sastra, politik,
sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja – dengan acuan Quran dan
Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir liar! Jangan
seenaknya mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.


Ketika saya menulis tentag sesuatu yang makro dan suprastruktural, saya
dijewer: “Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya
mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok:
“Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturrahmi dan
musyawarah!”.


Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu tidak
rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu
komersial!”.


Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu wasyrabuu!
Makan dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari rejeki, saya
ditonyo: “Kamu menuhankan uang dan harta benda!”.


Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu
saya sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu….
Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya….kau tak
punya!”.


Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel ngomong
ngunu!”. *****


Emha Ainun Nadjib,
Previous
Next Post »
0 Komentar