EMPAT SUMPAH SUHARTO


Setelah Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1998, mestinya 20 Mei 1998
(sembilan puluh sesudahnya) adalah Hari Kebangkitan Nasional ke-II, karena
pada hari itu Pak Harto memutuskan untuk berhenti jadi presiden yang
diumumkan besok paginya, 21 Mei. Tapi karena salah langkah, maka kemudian
ternyata 20 Mei 1998 adalah Hari Kebangkrutan Nasional.


Kebangkrutan itu bisa diartikan sebagai puncak krisis yang dihasilkan oleh
ujung pemerintahan Orba, atau bisa juga dimaknai sebagai awal dari
kebangkrutan yang lebih total karena reformasi sampai empat tahun kemudian
tidak kunjung menemukan jati dirinya, substansi perannya serta proporsi
historisnya. Mungkin saja Hari Kebangkitan Nasional ke-II adalah seratus
tahun sesudah kebangkitan yang pertama. Artinya reformasi yang prematur ini
memerlukan 10 tahun untuk menata dirinya kembali dan akan benar-benar
bangkit kesadarannya pada tahun 2008 lagi dan akan terwujud "bulan madu
kemerdekaan ke-II Republik Indonesia" sesudah tahun 2010.


Itu sepenuhnya tergantung kita sendiri. Kalau kita mengisi negara ini dengan
kelakuan maling, perampok, penipu, pengemis, pendusta, keculasan,
egosentrisme golongan dlsb yang amat subur di masa reformasi -- ya tak usah
memimpikan Hari Kebangkitan Nasional. Kita bangkit sendiri- sendiri saja
dengan istri kita di kamar kita masing-masing.


Kalau kesiapan kita adalah bergiliran menjajah rakyat sendiri, mencuri harta negara kita sendiri untuk masuk kantong golongan dan pribadi, ya mari saling busuk sampai kapanpun. Kalau hari ini dan masa depan bangsa ini kita isi
dengan permusuhan, kebencian, pandangan-pandangan subyektif, kegairahan
untuk menghancurkan sesama bangsa sendiri - ya mari bersiap untuk
kapan-kapan saling ber-tiwikrama. Kita telah salah mengawali reformasi dan
kini menikmati berlanjutnya kesalahan-kesalahan itu demi kepentingan
golongan kita sendiri. Yang paling susah adalah Anda dan saya yang tidak
punya golongan apa-apa, tidak dicatat oleh negara, tidak dilirik oleh media,
dan tidak diperhitungkan oleh mata sejarah. Mudah - mudahan itu berarti Anda
adalah Satria Piningit, kekuatan sejarah yang disembunyikan dan memang
tersembunyi dari wacana-wacana yang berlaku. Anda bekerja di daerah
tersembunyi di balik panggung yang gegap gempita, untuk mendidik rakyat agar
mulai belajar tidak gampang dibohongi dan dijebak serta pandai memilih apa
saja dari makanan sampai presiden - sehingga rakyat nanti akan tertuju
matanya kepada Satria Pinilih.


Tanggal 9 April 1998 saya membuat Seleberan Terang Benderang yang kami
sebarkan dan ditempel di tembok-tembok di Jogja. Judulnya "Suharto Harus Segera Turun dan TNI Harus Berpihak kepada Rakyat". Tentu saja tak ada koran
atau teve yang memuat itu, karena pada waktu itu semua media adalah media
Orba. Beberapa waktu kemudian media-media Orba itu bubar mati dan lahirlah
media-media anti Orba seperti yang Anda nikmati sekarang ini.
11 Mei 1998
jamaah Padang Bulan di Jombang wiridan ramai-ramai karena besok paginya akan terjadi sesuatu yang menjadi tonggak sejarah bangsa. 12 Mei kasus Trisakti. 13 dan 14 Mei kerusuhan. 15 istirahat sebentar. 16 sambungan kerusuhan di Solo, dst.
16 Mei pas saya nyapu-nyapu di hotel Regent Jakarta saya dijawil
Cak Nur dan jadinya saya ikut omong-omong yang kemudian melahirkan teks
saran agar Pak Harto mundur melalui salah satu dari empat cara. Saya seperti
lalat yang ikut terbang di pesawat.


Tanggal 17 teks itu dikonferensi-perskan di hotel Wisata, saya bagian berdoa
karena memang satu-satunya Mudin hanya saya, Ekki Syahrudin, Cak Nur dll.
Nangis ngguguk - ngguguk. 18 Mei teks itu keluar di koran dan teve. Sorenya
teks diserahkan kepada Pak Harto oleh Pak Saadillah Mursyid. Dua tiga jam
kemudian Pak Harto bilang setuju pada saran itu, lantas menelpon Cak Nur dan
minta bertemu dengan para pengusul besok paginya. Jadi Cak Nur menghubungi
semua yang rapat di Regent, termasuk lalat, ditambah beberapa orang tua
seperti Gus Dur, Pak Ali Yafi dll. Yang hadir itu bukan perwakilan dari
golongan apapun.


Pak Amin Rais tidak ikut karena beliau orang kuat, tegas dan terkadang
kereng seperti macan. Padahal Pak Harto juga macan. Nanti jadi duel macan.
Maka biarlah yang menghadapi macan itu orang-orang halus seperti Cak Nur,
Gus Dur dll, juga lalat. Sehebat-hebat macan tak bisa megejar lalat,
sehebat-hebat manusia tak bisa menangkap lalat dengan tangannya. Sementara
lalat bisa menggelitik bagian-bagian yang geli dari badan macan atau
manusia.


Lalat kok ikut masuk istana ini jadi masalah sampai sekarang. Kalau Gus Dur
Cak Nur kan tokoh, wajar kalau ketemu Pak Harto. Ini lalat kok ikut-ikut.
Cak Nur dan pihak Istana kok ya bodohnya memperbolehkan lalat ikut masuk.
Pak Malik Fajar, satu dari sembilan orang yang ketemu Pak Harto 19 Mei itu,
ketika ditanya mahasiswa bagaimana kok sampai lalat ikut masuk istana,
beliau menjawab: “*Embuh arek sitok iku kok melok ae...??? "*. Entah bagaimana
kok anak kecil itu ikut-ikut saja.


Tapi lha kok kemudian Habibie yang jadi presiden? Ini awal kesalahan
reformasi. Kasihan Pak Habibie. Naik ke kursi untuk dikutuk, didendami dan
diejek. Ketidakpuasan meluas ke mana-mana dan lama-lama menjadi epidemi
sampai sekarang. Mestinya kalau Suharto turun ya MPR bubar, wong MPR Harmoko itu sembah sungkem kepada Pak Harto. Sudah disiapkan Komite Reformasi,
terdiri dari 45 orang antara lain : Gus Dur Mbak Mega Pak Amin dll, yang secara logis
berhak menerima kekuasaan yang dilepaskan tidak hanya oleh Pak Harto, tapi
juga semua perangkat sepert MPR. Komite Reformasi bertindak sebagai
MPR-Sementara yang akan mengangkat Kepala Negara Sementara Prof.Dr.H.Amin
Rais yang ditugasi untuk membikin Pemilu sel ambat-lambatnya 6 bulan sesudah
tanggal 21 Mei 1998. Kalau pengalihan dari Orba ke pemerintahan reformasi
bersifat total dengan Komite reformasi, mungkin kadar ketidakpuasan dan
dendam antar golongan tidak sebesar sekarang. Tapi bangkitnya Reformasi
malah diwakili oleh Habibie yang pangerannya Pak Harto sendiri, jadinya
miss-ejakulasi.

Pak Harto jatuh karena tiga faktor. Pertama desakan mahasiswa dan amuk
rakyat. Kedua karena Pak Harto gagal merayu Cak Nur untuk memimpin Komite
Reformasi - kebetulan 10 menit sebelum ketemu Pak Harto, Cak Nur dan saya
bikin gentleman -agreement bahwa kami berdua tidak akan bersedia masuk
institusi apapun yang menggantikan pemerintahan Pak Harto. Jadi Pak Harto
pasrah dan berhenti. Ketiga, Pak Harto memang mau tidak mau harus lengser
karena menteri-menterinya yang sejak dulu dijunjung dan dibikin kaya oleh
Pak Harto pada 20 Mei malam menjegal Pak Harto dengan mengundurkan diri dari
kabinet. Rumah Pak Harto tak bertiang lagi dan ambruk.

Dari 45 anggota Komite Reformasi 43 reformis. Yang tidak reformis hanya tiga
: Pak Harto, Wiranto dan Akbar Tanjung (yang ternyata reformis.....). Tapi
semua orang traumatik kepada Pak Harto, sehingga Pak Amin sendiri tidak
percaya kepada Komite Reformasi, dan sayangnya Cak Nur tidak sanggup
menjelas kan kepada Pak Amin dan publik bahwa Komite Reformasi adalah bentuk
awal dari reformasi total. Semua kawatir bahwa Pak Harto masih akan turut
campur dalam Komite Reformasi. Padahal apa artinya 3 orang melawan 42 orang.


Takut pada keterlibatan Pak Harto, tapi malah melantik anak emasnya Pak
Harto menjadi presiden. Padahal Pak Harto, yang tahu bahwa semua orang
Indonesia tidak lagi percaya kepadanya, bersumpah kepada Tuhan empat bab :


  • Saya, Suharto, mantan presiden RI, tidak akan melakukan apapun untuk berkuasa kembali.
  • Bersedia diadili oleh sistem hukum negara atas segala kesalahan.
  • Bersedia mengembalikan harta yang terbukti oleh pengadilan sebagai milik rakyat.
  • Tidak akan ikut campur terhadap segala yang berkaitan dengan kekuasaan negara.

Saya menginisiatifi Husnul Khatimah Suharto itu dan dituduh Arbi Sanit
sebagai mesin politiknya Suharto. Arbi pura-pura tidak tahu bahwa kalau Pak
Harto bilang kepada Tuhan bahwa ia mau tobat, Tuhan menjawab: "He, To, kamu selesaikan dulu masalahmu dengan rakyat Indonesia, baru Kuterima tobatmu".
Artinya, tobatnya Suharto adalah legitimasi dan tambahan motif untuk
menyeret Pak Harto ke Pengadilan.

Di Jogja, saya menginisiatifi acara pertemuan Sri Sultan dengan rakyat. Saya
diskusi dengan HS, AS dan HN - aktivis mahasiswa - saya menyarankan Jogja
bikin Pisowanan Agung (entah dari mana saya tahu kata-kata itu). Mereka
bergerak dan acara itu benar-benar berlangsung. Saya sendiri jadi lalat di
Jakarta, sehingga dalam acara yang saya sendiri yang menyarankan itu Butet
Kertarajasa berpidato mengejek saya sebagai konsultan mendadaknya Pak Harto
dengan nuansa komunikasi yang mencitrakan bahwa saya orang Orba alias
pekatiknya Pak Harto. Ah, sekian dulu....kapan-kapan kita sambung lagi di
forum bumi maupun langit.****



Emha Ainun Nadjib,

Jawa Pos, 22 Mei 2002
Previous
Next Post »
3 Komentar
avatar

Ceritanya bagus banget bos..... tak tunggu yg lain

Balas
avatar

koq baru dikluarin nih cerita ya? Tapi bagus banget nih

Balas
avatar

Ooooooo ternyata karangan cak nun ya.....?! Makasih infonya

Balas