KRITERIA KEPE MIMPI NAN

Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan
sekurang-kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati,
kecerdasan pikiran, serta keberanian mental.

Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung
kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang
stagnan. Begitu pula sebaliknya.

Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan
hati dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen
yang bukan hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya.
Apalagi, jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati
dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.

Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa
atau orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan
muluk-muluk. Berpikir sederhana saja. Misalnya syarat menjadi suami.
Pertama, harus manusia. Kedua, harus laki-laki. Baru yang ketiga, keempat,
dan seterusnya.

Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas
banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia.

Bertindak hewaniah kepada istrinya, juga kepada orang lain.

Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah sedemikian sukarnya? Kenapa
kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan meremehkan bahwa syarat
menjadi suami itu harus manusia?

Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus
manusia. Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era
sejarahnya, gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia,
padahal semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku
kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi
perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?

Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal,
tidak ada cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan
kebinatangan hanya pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi
ternyata itu salah. Cultural animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di
bidang kesenian, hiburan, informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya
sendiri.

Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata
banyak suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi
tidak dalam mekanisme politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa
banyaknya lelaki yang ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang,
culas, suka mengincar, menyuruh bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi
pahlawan, merancang membakar gedung parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan
lain sebagainya.

Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap
dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.

Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina
atau perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga
dilakukan oleh wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan.
Jadi yang dimaksud pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik,
melainkan dalam pengertian kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat
Bahasa.

Emha Ainun Nadjib
Previous
Next Post »
1 Komentar
avatar

saya rasa kepemimpinan di negara kita masih jauh dari kriteria itu ya... Judulnya sungguh unik menggelitik karena mimpi nya dipisahkan dan menjadi kritik yang tanpa sengaja

Balas