Bekerja itu Memproduksi Tenaga

Ibu, anakmu bukan berpejam mata terhadap betapa penting perkembangan
pemikiran-pemikiran. Anakmu belum segila itu.



Tapi ia merasa terlibat di dalam belum berhasilnya manusia memfungsikan ilmu
pengetahuan
untuk berpacu melawan laju kebobrokan.


Anakmu memusatkan omongannya ini pada ironi yang anakmu sandang sendiri.
Ibu, kami sibuk merumus-rumuskan keadaan, meniti dan menggambar peta
masalah, mengucapkan dan mengumumkannya.


Pengumuman itu mandeg sebagai pengumuman. tulisan mengabdi kepada dirinya
sendiri.
Sedangkan Ibu, hampir tanpa kata, berada di dalam peta itu, menjawabnya
dengan tangan, kaki dan keringat.


Kami menghabiskan hari demi hari untuk mengeja gejala, dengan susah payah
berusaha menjelaskan kepada diri sendiri, sampai akhirnya kelelahan,
lungkrah dan ngantuk—Ibu pula yang dengan tekun memijiti tubuh kami.


Ibu tak kehabisan tenaga. Apakah Ibu menyewanya langsung dari Tuhan?


Ya, Bu. Bekerja itu memproduksi tenaga. Berpikir, yang hanya berpikir,
selalu menciptakan keletihan, yang belum tentu ada gunanya.


Manusia hendaknya tahu diri, belajar bertawadlu’ dan mencoba mengenali
rahasia-rahasia firman-Nya, atau yang alau memakai bahasa keduniaan manusia;
mengenali retorika dan diplomasi-Nya. Jangan sekali-kali kita terjebak dalam
kandungan dan membayangkan Allah memiliki kepentingan atas kehidupan dan
segala pekerjaan kita.



Emha Ainun Nadjib,

Dari buku "Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu, Sekelumit Catatan Harian", 2000,
Zaituna.
Previous
Next Post »
0 Komentar