Ibu, Tampar Mulut Anankmu!!

Ibu, engkau duduk di hadapanku.

Ibu jadilah hakim yang syadid, yang besi, bagi anak-anakmu.

Jika kutulis ini sebagai buku netral, pengadilan akan empuk. Setiap kata
dari beribu bahasa bisa dipakai untuk mementaskan kepalsuan. seratus ahli
penyusun kalimat bisa memproduksi puluhan atau ratusan ribu rangkaian kata
yang bebas dari kenyataan dan dari diri penyusunnya sendiri.


Kebebasan itu bisa sekedar berupa keterlepasan kicauan intelektual dari
dunia empiris, tapi bisa juga merupakan kesenjangan antara semangat
ilmu—yang di antara keduanya membentang kemunafikan, inkonsistensi atau
bentuk-bentuk kelamisan lainnya.


Syair tidak bertanya kepada penyairnya.

Ilmu tidak menguak ilmiawannya.

Pembicaraan tidak menuntut pembicaranya. Tulisan tidak meminta bukti hidup
penulisnya. Ide tidak kembali kepada para pelontarnya.


Ibu yang duduk di hadapanku, ini adalah kritik anak-anakmu sendiri.

Allah melaknat orang yang mencari ilmu untuk ilmu. Al-‘ilmu lil-‘ilmi.

Ilmu menjadi batu, dan para pencari ilmu menyembah bau-batu, berhalaberhala
yang membeku di perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi serta informasi.


Betapa penting dokumentasi, tetapi ilmu tidak dipersembahkan kepada museum
apapun, melainkan kepada apa yang bisa dikerjakan hari ini oleh para penulis
di lapangan, bukan di kahyangan.


Ibu, tamparlah mulut anak-anakmu.


Orang yang bertahun-tahun mempelajari mana yang benar dan mana yang salah
dalam kehidupan, tidak dijamin memiliki kebenaran mental untuk mengemukakan
sesuatu hal itu benar dan sesuatu hal itu salah. Tinggi dan luasnya Ilmu
pengetahuan seorang cendekiawan tidak menjanjikan jaminan moral. Artinya,
dari kenyataan itu tercermin ketidaktahuan kemanusiaan.


Di dalam diri seseorang tidak terdapat keterkaitan positif antara,
pengetahuan, ilmu, mentalitas dan moralitas.


Emha Ainun Nadjib,

Dari buku “Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu - Sekelumit Catatan Harian”
Previous
Next Post »
0 Komentar