Sepak Bola Sebagai Gejala Sejarah

Saya tidak sungguh-sungguh mengenal – apalagi menguasai seluk beiuk – dunia
sepakbola. Saya sekedar menyukainya.


Pengetahuan saya mengenai tehnik persepakbolaan, sejarahnya, petanya di
negeri ini dan di dunia, siapa saja nama pemain-pemainnya – amat sangat
terbatas dan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan pengetahuan Anda.
Indikator bahwa di dalam hidup saya ada sepakbola hanyalah bahwa di kedua
kaki saya terdapat banyak bekas luka karena main sepakbola ndeso di masa
kanak-kanak dan masa muda saya. Selebihnya, saya juga bukan penonton setia
pertandingan-pertandingan sepakbola di level manapun. Bukan pula pemerhati
perkembangan dunia sepakbola. Bahasa jelasnya: dalam soal persepakbolaan,
saya sama sekali seorang awam. Seorang penggembira yang mensyukuri bahwa
pernah ada seseorang, suatu kelompok atau sebuah masyarakat yang kreatif
menemukan kenikmatan ‘budaya’ yanq disebut sepakbola.


Adapun kalau sesekali saya menulis di media massa tentang sepakbola, ada
sejumlah sebab. Menulis di koran hanyalah perpanjangan tangan dari obrolan
sehari-­hari. Puluhan juta orang mernperbincangkan sepakbola: beda antara
saya dengan mereka hanyalah bahwa obrolan saya terkadang memakai modus
ekspresi yang lain serta dengan daya jangkau yang agak lebih luas.
Sebagaimana berpuluh-puluh juta orang tersebut berhak membicarakan apa saja
– dari presiden, Tuhan, sambal, hingga sepakbola – maka sayapun merasa tidak
ada salahnya omong sepakbola. Negara, menteri-menteri, harga lombok, adalah
'milik' kami yang berhak kami perbincangkan kapanpun saja.


Sebab yang kedua, teman-teman media massa sukanya minta sih agar terkadang
saya menulis olahraga, terutama kalau pas ada peristiwa-peristiwa olahraga
penting. Saya orangnya amat susah menolak. Permintaan itu terkadang saya
penuhi, dengan persyaratan hendaknya mereka memahami dan mengizinkan bahwa
posisi saya bukanlah sebagai – semacam – kolumnis olahraga. Melainkan
sekedar sebagai seseorang biasa yang kebetulan mencoba menuliskan hal-hal
yang sebenarnya memang merupakan bahan obrolan sehari-hari siapa saja.
Termasuk dengan tingkat – mutu obrolan sehari-hari pula.


***
Akan tetapi di luar itu, mungkin memang ada hal-hal yang agak sedikit lebih
penting. Misalnya, bahwa gejala – sebagaimana segumpal batu, se-uleg-an
sambal atau sebuah revolusi sosial – sepakbola adalah cermin sejarah. Di
dalam sepakbola saya bisa menemukan hampir apa saja yang juga saya temukan
di luar lapangan bola, bahkan di wilayah-wilayah yang lebih serius dibanding
sepakbola.
Di dalam sepakbola saya berjumpa dengan gejala sosial. Dengan manusia.
Dengan wataknya. Kualitas kepribadiannya. Kecerdasan atau kedunguan otaknya.
Kepekaan dan spontanitasnya. Refleksi-refleksi dari dunia pendidikan,
kebudayaan, keluarga, nilai-nilai, bahkan juga tercermin akibat-akibat
kesekian dari mekanisme politik, industrialisasi, modernisme, atau apa saja.
Lebih dari itu saya bisa yakinkan bahwa dengan Tuhan, filsafat dan imanpun
saya bertegur sapa di dalam sepakbola.



***
Pada suatu hari Anda menyaksikan pertandingan sepakbola nasional kita, atau
pertandingan-pertandingan elite dunia yang bagaikan 'magic’. Lantas
barangkali Anda teringat dahulu kala tatkala Anda bermain sepakbola di
kampung: memakai buah jeruk sebagai bola. Atau kulit luar pohon pisang
kering yang Anda bikin sampai menjadi bulatan bola. Atau bola-bola karet dan
plastik biasa yang Anda dapatkan di Pasar Kecamatan. Sesekali, mungkin
bersama Santri-santri dari Pesantren sebelah Anda mencoba bermain dengan
bola api.


Ingatan masa silam Anda itu bukan hanya bermakna sebagai nostalgia yang
romantik. Lebih dari itu, Anda mungkin memperoleh pelajaran tentang
mekanisme transformasi. Transformasi budaya. Transformasi sejarah.
Transformasi manusia. Outline-nya: transformasi budaya manusia dalarn
sejarah.
Menjadi pemain sepakbola di tahun 1960an sangat berbeda dengan menjadi
pemain sepakbola tahun 1990an. Menjadi pemain sepakbola di kampung yang
bersenang-senang pada kompetisi 17-an sambil sesekali pukul-pukulan, berbeda
dengan ketika ikut Pelatnas atau berlaga melawan klub-klub sepakbola
profesional­-industrial. Menjadi pemain sepakbola dengan kaki telanjang atau
saat mulai belajar pakai sepatu sehingga rasa berlari kita seperti bandit
yang kakinya dirantai dan digandholi beban bulatan besi, berbeda dengan
menjadi pemain sepakbola sebagai suatu pekerjaan dari 'ideologi' modernisme.
Menjadi pemain sepakbola nostatgia bersama para Jago Kapuk alias veteran
berbeda dengan tatkala kaki kita siap patah menyangga misi nasionalisme
olahraga, nama baik bangsa atau memperjuangkan nafkah anak istri melalui
tentangan bola.


Anda nyeletuk: "Ya mesti saja! Wak Jan juga tahu kalau itu berbeda!"


Saya memaksudkan perbedaan itu lebih – atau sekurang-kurangnya berbeda –
dengan yang barangkali Anda bayangkan.


Perbedaan pertama mungkin sederhana saja, ialah pada perasaan yang bergolak.
Di kampung, selama main bola hati kita berbunga-bunga menikmati sepakbola as
a fun and enjoyment. Tapi tatkala Anda berdiri di lapangan dan di seberang
Anda adalah Fandy Achmad dari tim nasional Singapura atau apalagi (hiii)
Franco Baressi pendekar AC­ Milan: gelombang perasaan kita pasti lebih
komplit. Bermain tetap sebagai hiburan dan kenikmatan juga barangkali,
tetapi kuda-kuda mental kita harus lebih dari itu.
Di dalam nasionalisme sepakbola, di dalam profesionalisme sepakbola, di
dalam industrialisme sepakbola: kita haruslah merupakan seorang manusia
modern. Seorang pemain 'sepakbola modern’. Seorang modernis dalam sepakbola.
Cara berpikir kita, sikap mental kita, wawasan dan pengetahuan kita, pola
determinasi budaya kita, setiap kuda-kuda kita, segala sepakterjang kita,
haruslah merupakan endapan atau perasan dari kuda-kuda modernisme.


Bagi kebudayaan sepakbola modern internasional saja antara sepakbola sebagai
kenikmatan (baca: sebagai kesenian, estetika) masih relatif berpolarisasi
dengan sepakbola sebagai 'mesin' profesi (baca: teknologi). Bukankah
polarisasi itu pula yang selama dua dekada terakhir ini menjadi substansi
nuansa antara persepakbolaan Eropa dengan Amerika Latin? Bukankah tim
raksasa seperti Brazil saja selama putaran piala dunia tiga kali
berturut-turut masih dihinggapi splits atau semacam kegamangan antara
estetika dengan teknologi sepakbola?


Dalam bahasa populer, polarisasi itu terungkap misalnya lewat perdebatan
para pelatih. Yang satu bilang: "Ini sepakbola manusia, bukan onderdil
mesin. Sepakbola manusia adalah keindahan". Lainnya menyindir: "Indah atau
tidak indah itu memang penting. Tapi yang lebih penting adalah terciptanya
gol". Sementara lainnya lagi berkomentar: "Keindahan dan terciptanya gol
sama pentingnya".


Atau dalam bahasa sehari-hari, kita membedakan antara sepakbola tradisional
dengan sepakbola modern dengan istilah sepakbola alamiah yang mengandalkan
naluri dengan sepakbola rasional yang mengandalkan ilmu dan kecerdasan akal.


Bahasa jelasnya: manusia sepakbola di jaman kontemporer ini belum selesai
dengan proses transformasinya. Masih terus berjuang memproses instalasi yang
yang terbaik bagi budaya sepakbolanya. Masih belum menemukan keutuhan antara
'alam'nya dengan 'modernisme'nya. Sejarah sepakbola masih terus bergolak
secara amat dinamis. la masih akan tiba pada inovasi-inovasi, bahkan mungkin
juga invensi.


Bagi kita-kita di Negara Berkembang, seringkali terjumpai: seorang pemain
yang tampak amat berbakat secara alam, namun menjadi bengong ketika memasuki
arena modern persepakbolaan. Tiba-tiba kakinya gagu, tampak tidak memiliki
kecerdasan, sejumlah ketrampilannya mendadak lenyap entah ditelah oleh apa.
Kesimpulannya, di dalam budaya sepakbolapun ternyata harus ditemukan metoda
transformasi yang tepat, yang mempeluangi setiap pemain untuk mengubah
dirinya menuju pemenuhan tuntutan-tuntutan sepakbola modern tanpa kehilangan
potensi alamiahnya. Kalau tidak, Galatama menjadi tidak laris, PSSI kalah
terus, dan kita capek menangis. Apalagi kalau organisasi PSSI lebih
merupakan ajang dari persaingan dan perbenturan kepentingan yang sebenarnya
bersifat non-sepakbola. Mampuslah kita para penggembira sepakbola nasional.


Emha Ainun Nadjib, 2004
Previous
Next Post »
0 Komentar