PRESIDEN BUKAN SEMBARANG

Presiden Reformasi Indonesia bukan sembarang Presiden. Sejak bangkitnya
bangsa Indonesia melalui Reformasi 1998, kalau ada seorang Presiden
terpilih, jangan dipikir itu sekedar hasil Pilpres satu hari hari, melainkan
ujung dari sebuah proses panjang. Itu puncak eskalasi struktural dari
tingkat masyarakat RT hingga ke puncak kursi kenegaraan.


Bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman peradaban selama berpuluh-puluh
abad untuk memilih pemimpinnya. Pemilihan Presiden di abad 21 ini jauh lebih
sederhana karena sekedar melibatkan penduduk atau warganegara. Sedangkan
pengalaman sejarah bangsa Indonesia pernah membawa mereka memilih pemimpin
tertingginya dengan melibatkan Nyi Roro Kidul, Walisongo, ruh-ruh leluhur,
pasukan lebah, lembu atau kerbau, bahkan untuk sebagian secara
sembunyi-sembunyi juga melibatkan masyarakat rekanan hidup manusia yang
dikenal dengan nama Jin.



Sejak Reformasi di akhir abad 20, bangsa Indonesia sudah benar-benar menjadi
dewasa. Maka skala demokrasi modern mereka cukup hanya mengakomodasi hak
warganegara yang berjenis makhluk manusia, sehingga mekanismenya jauh lebih
simpel. Sedangkan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, dari Malaikat
sampai hewan, tidak memiliki hak gugat terhadap keputusan demokrasi modern
umat manusia, karena Tuhan sudah memberi mandat penuh – ibarat Duta Besar
Berkuasa Penuh – kepada manusia untuk menjadi khalifatullah fil-ardl,
mandataris Tuhan di seluruh bumi.


Bahkan Iblis, makhluk sangat ganas dan sakti mandraguna yang bertugas
menjadi antagonis moralnya ummat manusia, semacam ‘sandhi-yudha’ yang
memiliki ketahanan luar biasa dalam tugasnya sebagai partner dialektika
kehidupan manusia – juga tidak melakukan protes apa-apa terhadap demokrasi
modern, terutama yang diselenggarakan di Indonesia.


***


Iblis pasti bukan tidak tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang penduduknya
paling memiliki kedekatan dengan Allah swt. Jumlah Hajinya terbanyak seluruh
dunia. Sangat rajin bikin pengajian massal, majlis ta’lim, istighotsah,
yasinan dan tahlilan, kursus shalat khusyu, biro pengelolaan kalbu,
tafsir-tafsir aplikatif dari surah dan ayat-ayat quosi emosi dan spirit, dan
berbagai aktivitas keagamaan lainnya yang Iblis ampun-ampun untuk berani
menerobosnya.


Maka mekanisme demokrasi modern dijalankan di Indonesia jauh lebih mulus
dibanding Negara manapun di dunia. Ditambah faktor plus yang mendasari
kekokohannya sebagai sebuah sistem bernegara yang hampir bisa dikatakan tak
mungkin bisa digoyahkan oleh apapun saja. Faktor plus itu misalnya tingkat
kependidikan masyarakat Indonesia yang sudah jauh memadai sebagai prasyarat
tumbuhnya kedewasaan demokrasi.


Matangnya kebudayaan bangsa Indonesia, sebagai individu manusia maupun
sebagai kumpulan komunitas, menjadikan pelaksanaan demokrasi sedemikian
gagahnya, penuh kemerdekaan dan kreativitas, penuh kelincahan dan
keterampilan, namun tetap berada dalam kontrol bersama yang komprehensif di
antara semua kelompok, segmen, strata dan kantung-kantung lain bangsa
Indonesia.


***

Demokrasi di tangan bangsa Indonesia bagaikan bola di kaki Maradona, tongkat
ganda di tangan Bruce Lee, bola basket di tangan Kareem Abdul Jabbar atau
Michael Jordan, mobil Formula-1 di kendali Schumacher, Ayrton Senna atau
Fernando Alonso. Kalau mau agak puitis, demokrasi bagi bangsa Indonesia itu
bak gelombang di pangkuan samudera, bak panas di ujung lidah api, bak kokok
di tenggorokan ayam, atau auman di mulut harimau.


Bangsa Indonesia memiliki susunan dan tata sosial yang solid namun dinamis
sejak dari lingkar terkecil. Di dalam setiap keluarga selalu terdapat
pembelajaran dialog-dialog alamiah tentang kepemimpinan dan siapa pemimpin.
Aspirasi dari keluarga-keluarga kemudian dengan sendirinya menjadi muatan
interaksi masyarakat se Rukun Tetangga. Kemudian fondasi aspirasi itu
meningkat dan meluas hingga ke skala desa atau kelurahan. Demikian
seterusnya sampai ke babak ‘semifinal’ dan ‘final’ di panggung puncak
kepemimpinan Nasional.


Jadi kalau ada seseorang akhirnya terpilih menjadi Presiden, sesungguhnya
itu hanya ujung dari suatu proses yang sangat panjang. Bangsa Indonesia
sudah ‘memiliki’ Presiden sejak di rumahnya masing-masing. Kalau seorang
Presiden sudah duduk di kursi kepresidenan, hari itu juga setiap warganegara
sebenarnya sudah mengantongi nama presiden berikutnya. Seorang Presiden
dalam peradaban bangsa Indonesia adalah seseorang yang sudah diuji oleh
seluruh dan setiap rakyatnya sejak jauh-jauh hari sebelumnya, minimal
sepuluh tahun. Sistem budaya masyarakat Indonesia sudah memiliki
infrastruktur kualitatif dan mekanisme identifikasi yang berlangsung
mendasar, permanen dan dinamis.


***

Hal yang sama juga berlangsung pada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan
Rakyat. Siapa saja yang mengambil keputusan menjadi Caleg dan gambar
wajah-wajah mereka bisa dijumpai di sepanjang jalan, adalah tokoh-tokoh yang
bukan hanya sudah sangat dikenal oleh masyarakat infrastrukturalnya, lebih
dari itu mereka sudah diuji moralnya, integritas sosialnya, kesungguhan
pengabdiannya, keterampilan kerja dan profesionalismenya, termasuk luasnya
wawasan dan tingginya keilmuannya.


Bahkan tatkala seorang Presiden memilih Menteri-Menterinya, dan para Menteri
memilih bawahan-bawahannya, itu sama sekali bukan soal selera, bukan
berdasarkan power-share atau pembagian kekuasaan, bukan berlatar belakang
kepentingan golongan atau penyeimbangan perolehan antar kelompok. Pemilihan
atasan ke bawahan itu juga diselenggarakan dengan terlebih dulu mempelajari
data-data dan fakta-fakta dari lapangan paling bawah, yakni siapa yang
benar-benar sudah lulus dari penyaringan sosial masyarakat.


Kadar keterujian pemimpin nasional dan wakil rakyat yang sedemikan ketat dan
kualitatif oleh sistem sosial masyarakat Indonesia, membuat mustahil muncul
pemimpin-pemimpin yang nyasar dan a-historis. Kepemimpinan nasional dan
perwakilan rakyat di Indonesia tidak bisa sekedar ditentukan oleh eksistensi
dan mekanisme partai-partai politik. Parpol hanyalah kendaraan di ujung
jalan, hanya alat terakhir untuk secara formal meresmikan apa yang sudah
diproses sangat matang dalam waktu yang juga sangat panjang. Semua aktivis
parpol juga sangat memahami hal itu, sehingga mereka sangat bersikap rendah
hati dan tidak merasa dirinya penentu utama kepemimpinan nasional.


***



Presiden Indonesia dan Wakil-wakil Rakyat adalah orang-orang yang memang
harus mereka yang menjadi Presiden dan Wakil-wakil rakyat.


Vox populi vox dei. Demikianlah ‘sabda rakyat’ melalui mekanisme sistem yang
mereka selenggarakan secara konsisten dan istiqamah dari tahun ke tahun,
dari era ke era, bahkan dari zaman ke zaman. Presiden dan Wakil-wakil rakyat
adalah tokoh-tokoh yang muncul ke singgasana berdasarkan ujian sejarah
masyarakatnya sendiri. Dengan demikian bisa dipastikan merekalah memang
yang paling layak kepribadiannya, paling bermutu kepemimpinannya, paling
unggul ilmu dan wawasannya, paling kredibel kinerjanya, paling luas
wawasannya, paling terampil kerjanya, bahkan paling diridhoi Tuhan dan
direstui oleh semua makhluk-makhluk Allah non-manusia.


Sistem budaya dan mekanisme sosial bangsa Indonesia yang sudah matang sejak
puluhan abad yang lalu, memastikan bahwa pemimpin-pemimpin nasional mereka
yang lahir dari demokrasi Indonesia adalah putra-putri terbaik bangsanya.
Harus mereka yang memimpin. Tak terbantahkan. Bisa jadi Tuhan sendiripun tak
mungkin mengganti mereka, karena Ia mengikatkan diri pada kegembiraan dan
kebanggaan menyaksikan tingkat kematangan budaya demokrasi bangsa dan Negara
Indonesia.


Emha Ainun Nadjib,
Previous
Next Post »
0 Komentar