TUHAN YANG MAHA JOWO

Kalau Anda sering bergaul dengan orang Luar Negeri, terutama auslander yang
tergolong 'modern'dan 'rasional', mungkin saja sering Anda sampai pada
kesimpulan begini: "Pantas dulu kita bangsa Jawa ini gampang dijajah. Lha
wong kita ini terlalu baik"



Terlalu 'baikan' sama orang. Sangat menyambut. Akomodatif. Suka menyuguh dan
memberikan apa saja yang kita bisa kepada para tamu. Itu namanya "jowo".
Kalau pelit, itu "ora jowo". Tentulah. Karena kita semua memang pengagum
Tuhan, dan berusaha meniru sifat-sifatNya. Bukankah Tuhan Maha Jowo?



Bayangkanlah kalau Allah mengurangi jowo-Nya, misalnya pagi ini kurangi
anugerah-Nya kepada Anda dengan mengambil mata atau telinga yang nempel di
tubuh kita dan disimpan kembali di gudang-Nya.

Lha, ya begitulah, beberapa lama ini saya menemani tamu monco saya. Tak
habis-habisnya saya nraktir, membelikan lurik, batik, berbagai sovenir,
T-shirt, dan lain-lain. Sampai pada suatu hari, saya berdebat dengannya
menemukannya sebagai seorang materialis sejati.

Materialis itu bukan dalam arti gila materi, tapi ia melihat seluruh
kehidupan ini hanya sebagai materi. Ia menertawakan filsafat, tak percaya
kepada jiwa dan mengenali nilai-nilai hanya sejauh menyangkut struktur
keberadaan materi. Maka manusia dilihatnya hanya sebagai perut, dan segala
uurusan politik hanyalah berkisar pada distribusi nasi. Maka ia fanatik
kepada orang miskin dan 'sentimen' kepada orang kaya.

Saya mencoba berontak dengan menunjukkan kepadanya bahwa saya ini lebih
melarat dibanding dia yang punya gaji tetap dan besar dan bisa sering
tamasya ke luar negeri dan bisa pelit.

Maka kalau saya mentraktirnya ini itu, semata-mata karena filsafat hidup
saya, kerena rasa sosial (bukan solidaritas rasional) dan karena nilai cinta
kemanusiaan.



Nilai-nilai itu ternyata tak ada maknanya bagi materialisme yang menjadi
tulangg punggung kehidupannya. Saya jadi anyel (jengkel).

Saya katakan kepadanya bahwa rakyat Indonesia bisa bertahan hidup karena
filsafat, karena ketahanan moral dan nilai-nilai kejiwaan
. Kalau tak punya
itu, dengan takaran materi yang amat rendah, mereka sudah hancur hidupnya.
Dengan nilai-nilai itu mereka tetap sanggup memanusiakkan dirinya di tengah
derita kemelaratan.

Karena si monco ono memang tak tahu banyak tentang manusia Indonesia, maka
dia tak mampu membantah argumentasi saya. Saya lantas merasa iba, kasihan,
dan segera saya traktir lagi.

Emha Ainun Nadjib

Dari Buku “Secangkir Kopi Jon Pakir”,
Previous
Next Post »
0 Komentar