TASAWUF

Beberapa orang dari kalangan sufi menganggap bahwa tasawuf merupakan praktik spiritual dalam tradisi islam. Tasawuf memandang ruh sebagai puncak dari segala realitas. Sementara jasad tidak lebih sebagai “kendaraan” saja. Maka, jalan spiritualitas lebih banyak menekankan pada aspek ruhani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman yang juga bersifat personal. Berbeda dengan “agama” yang bersifat umum (dalam islam kita kenal dengan istilah sya’riah/syari’at), jalan tasawuf kemudian kita kenal dengan istilah tarekat (dekat dengan istilah tirakat). Dalam jalan ini setiap pendaki akan melewati level dan kondisi (maqomat dan ahwal) di bawah bimbingan guru spiritual (dalam islam dikenal dengan istilah mursyid). Dimana antara satu guru dengan guru yang lain sangat dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda. Sang murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb). Ada yang meyebut istilah ini dengan Mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri (menghadirkan) atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid dilatih membersihkan diri melalui tarekat tadi dengan menempuh dari level tertentu ke level yang lebih tinggi, dari kondisi tertentu ke kondisi yang lebih yang lain. Hingga sang murid mampu mencapai tingkatan fana (kosong/hampa) tidak ada lagi ego dalam diri sang murid sehingga murid sampai pada sebuah kondisi “tersingkap”, “menghadirkan”, atau “berhadap-hadapan”.


Disinilah antara tasawuf moral dan tasawuf falsafi berbeda jalan. Tasawuf moral –setelah melewati fase tadi- mengajak “kembali” sang murid untuk hidup dalam dunia “nyata” dan kembali masuk dalam aturan syariat. Namun syariat yang telah diisi dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan. Sehingga syariat yang dijalankan akan lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan perjalanan. Misalnya, sang murid sudah mengerti apa hakikat sholat, puasa dan zakat lalu bisa mempraktikannya dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid sudah mengerti bahwa pada sisi yang paling esoterik semua agama memiliki tujuan yang sama sehingga mampu untuk hidup toleran serta tidak memperbesar perbedaan sisi eksoterik satu agama dengan agama yang lain. Sang murid sudah mengerti bagaimana cara bergaul dan menghargai antara sesama manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana ia berasal dan kemana ia akan kembali.

Berbeda dengan tasawuf falsafi. Setelah sampai pada fase tersebut, sang murid atau bahkan sang guru, tidak mau “pulang”. Tapi mau tetap Menikmati ekstase keindahan dan kenikmatan “bersatu” dengan Tuhan. Terucaplah perkataan yang tidak terkontrol tadi (syathohat) dalam kondisi ekstase. Berujar mengaku sebagai Sang Kebenaran atau memuji dirinya sendiri sebagai Tuhan. Atau menuangkan pengalaman bertuhannya dalam karya/tulisan. Di level sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul khawas) mungkin tidak menjadi persoalan. Tapi bagaimana di kalangan awam yang memang hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf? Disinilah problem selanjutnya muncul. Mau tidak mau, atas nama menjaga kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan alasan-alasan yang sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini menyandang predikat sesat atau yang berakhir dengan hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul (terbunuh), Abu Mansyur Al-Hallaj dan Ainul qudhat Hamadani adalah sufi falsafi yang hidupnya berakhir dengan hukuman mati. Bahkan syuhrawardi dan ainul qudhat dihukum mati dalam usia yang cukup muda. Apa yang terjadi dengan Syekh siti djenar (jika kisah ini juga memang benar dan bukan sebagai mitos serta terlepas dari persoalan politik) adalah termasuk dalam kategori ini.

Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim kaum sufi yang juga diperdebatkan dikalangan teologis dan ahli fikih. Bahkan bagi sebagian kalangan islam yang agak keras, praktik tasawuf dianggap bid’ah. Disinilah perlunya bisa memahami islam (dari sisi kajian dan praktik) baik dari sisi teologi, tasawuf, fikih dan filsafat. Agar tidak mudah terjebak dalam absulutisme dan arogansi fikih misalnya atau tasawuf, teologi maupun filsafat sehingga saling menyalahkan satu sama lain karena ketidakmengertian kita terhadap metodologi yang digunakan.

Apa yang dicontohkan Al-Ghazali & rumi yaitu untuk segera pulang setelah bertemu Tuhan, seharusnya bisa menjadi teladan yang baik bagi para praktisi tasawuf hari ini. Al-Ghazali menghiasi syariat dengan yang kaku dengan nilai-nilai hakikat. Atau rumi yang mengekspresikan kebahagian dan rasa cinta serta rindu kepada Tuhan melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan dll) yang terlukiskan dalam karya sastra..

Mungkin tidak mudah untuk serta merta diterima oleh rasio karena memang tasawuf tidak menggunakan “alat ukur” rasionalitas. Tasawuf menggunakan alat ukur yang berbeda yang bernama “ainul qolb” (mata batin) yang diyakini juga ada dalam diri setiap manusia. Yang kadang sepintas ia “muncul” dan kita tidak mengenalinya lalu “tertutup” lagi oleh potensi lain dalam diri kita.

Setidaknya itu penjelasan yang sangat terbatas dari saya... Mohon kritik dan saran bagi yang lebih tau. Makasih
Previous
Next Post »
0 Komentar