SYAIR MAHASISWA PENJAMBRET

Sebab tergoda oleh betapa seru berita di koran serta oleh pengujian para
tetangga, bertanyalah aku kepada penyairku, “Akir-akhir ini orang makin
ribut tentang pelajaran dan mahasiswa kriminal. Aku bertanya benarkah
puisimu tak membutuhkan tema semacam itu, atau tidakkah soal-soal seperti
itu memerlukan puisi?”


“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai
sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi,
kalau para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam
tangan dan mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”


Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering
dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah
bersentuhan.


Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak
yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai
yang saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh
sejarah dan perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk
menuangkannya.


“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal
picisan?”, penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar
menapakkan kaki, yang keterampilannya tanggung? menggeledah tas teman
kostnya, melarikan motor tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan? belum pantas dipuisikan.


Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.


Jagat kesenian memerlukan soal-soal besar, umpamanya kesepian hati atau
kembang dan kupu-kupu di pagi hari.


Tapi baiklah. Kalau kaum terpelajar bersedia tak sedemikian tergesa-gesa.
Kalau para pioneer sejarah sanggup menahan emosi dan sedikit bersabar. Kalau para pemilik utama masa depan mau belajar baik-baik dan tunggu momentum yang tepat untuk kelak
menjadi penjambret yang canggih tersenbunyi, tanpa orang tahu bahwa mereka
adalah penjambret ? puisiku masih akan membukakan pintunya untuk suatu
tawar-menawar.”


Apa yang sesungguhnya hendak engkau ucapkan, penyairku?


Penyair amat berbakat merusak kehidupan karena begitu gampang menemukan
kata-kata, bahkan pun untuk keadaan yang samar-samar baginya.


Malah mengeras tertawanya, “Samar-samar, katamu?”, ia mendongak, “Kalau
mahasiswa mulai sanggup bertindak kriminal, apakah ia diajari oleh dirinya
sendiri?


Ataukah ia dituntun oleh para pejambret yang mampu Melakukan penjambretan
sedemikain rupa sehingga beribu-ribu orang tak merasa bahwa isi kantong
kehidupan mereka terus dijambret dari hari ke hari?”


Kupikir itu bukan hanya sombong dan tergesa-gesa. Namun juga berangkat dari
sangka buruk. Adakah kemampuan yang dahsyat dalam memotret sesuatu yang
dimiliki penyair membuatnya tak membiasakan diri untuk bersabar, menyaring
atau mengendapkan?


“Dengarlah”, ia mendongak lebih tinggi, “Kalau para kaum terpelajar mulai
belajar mengerjakan kejahatan-kejahatan yang wantah, adakah engkau menyangka
Tuhan memang mentakdirkan mereka demikian? Ataukah itu hasil godogan dari
tata hubungan kehidupan yang menyediakan amat banyak lintah-lintah?


Dengarlah air mengalir tidak tiba-tiba sampai di muara.


Dan jika matamu memandang awan berarak, hendaklah engkau tatap juga samudera
yang menghampar dan panas matahari yang memanggangnya. Mendung tidaklah
mengepulkan dirinya sendiri dan kemudian hadir menyaput hari-harimu sebagai
hantu yang tanpa asal-usul?”


“Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret di muka orang banyak,” ia tak
memberiku kesempatan untuk menanggapi, “Siapakah gurunya? Tangan siapakah
yang melontarkan mata tombak kejahatan? Petani manakah yang menanamkan
benihnya dan merabuki kesuburan tetumbuhan-nya? Kalau kaum terpelajar mulai
sanggup melakukan tingkat kejahatan yang paling dangkal dan remeh, Apakah
karena mereka memang orang jahat?”


“Kebaikan dan keluhuran tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran.
Gedung-gedun sekolah menyediakan laboratorium bagi anak-anak untuk menjadi
pandai, dan tidak terutama untuk menjadi baik.
Mendaftarlah ke antrian kesempatan sekolah, tinggalkan anak-anak lain yang
tolol dan tak punya biaya. Reguklah Tujuh samudera pengetahuan. Tapi untuk
soal-soal bagaimana membangun kebajikan, sepenuhnya diserahkan kepadamu
masing-masing? apakah akan mencarinya di balik tikar-tikar kumuh robek
rumah-rumah ibadah, atau di pinggiran kaki lima-kaki lima kehidupan?”


“Kalau anakmu berangkat sekolah di pagi hari, mulutnya menganga untuk
disuapi pengetahuan tentang kepandaian dan kemenangan, bukan kebijakan dan
kebersamaan.


Anak-anakmu diajari berlari maju, melampaui dan meninggalkan anak-anak lain
yang bersemayam di kesempitan-kesempitan hidup.


Anak-anakmu diajari untuk terampil memanjat melewati pundak teman-teman
bermain mereka, beribu-ribu, berjuta-juta teman bermain mereka yang
perjalanan hidupnya tercengkal.


Meninggalkan mereka semua yang mandeg di masa silam.


Pergi berlari, meniti daerah impian, menapaki tangga-tangga kehidupan yang
lebih tinggi dan menjanjikan kemewahan.


Anak-anakmu diajari untuk mengalahkan yang lain.


Untuk melampaui dan meninggalkan sumber-sumber kesejarahan mereka sendiri,
untuk meraih apa yang disebut derajat, kamukten dan kemenangan.


Anak-anakmu berbaris di halaman sekolah, berjajar di bangku-bangku kelas,
punggung mereka dicambuk untuk berlatih menang? dan jika kemenangan amat
sukar diperoleh secara wajar? sebab peluang untuk itu menjadi semakin sempit
dan semakin sempit? maka wajarlah jika mereka lantas menjegal siapa saja di
sekitar mereka yang bisa dijegal: mencopet, menjambret, merampok,
di kampung, dijalanan”


“Adapun hal-hal yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap
sesama, kesadaran untuk meruwat keadilan dan kemuliaan ? tidak merupakan
urusan utama di dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan.


Adapun soal-soal yang berkenaan dengan tubuh besar kemanusiaan, keinsafan
untuk nggemateni nilai dan keilahian ? hanyalah unsur pinggiran bagi
pusat-pusat mimpi dan perjuangan untuk berlomba menang, kontes kemakmuran dan rekor-rekor kesejahteraan serta kemegahan



“Anak-anakmu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali kepentingan diri
sendiri
. Tangan dan kaki anak-anakmu dilatih tidak untuk apa-apa kecuali
untuk beringas memompa perut dan gengsinya sendiri.
Naluri anak-anak dididik untuk menindak dan memakan orang lain untuk
cita-cita pribadi. Anak-anakmu dipacu untuk berpikir sebagai ego, di mana
segala sesuatu di luar itu hanyalah amat bagi ego-ego.


Anak-anakmu dibikin tak paham kebersamaan. Anak-anakmu dididik untuk menjadi
segumpal keasingan, tidak untuk menjadi seseorang di tengah berbagai orang.


Anak-anakmu dididik untuk menjadi pusat-pusat penghisap”


“Anak-anakmu diletakkan di dalam proses salah kaprah untuk berkembang
menjadi penjambret-penjambret yang halus dan sophisticated Maka apabila ada
di antara mereka yang kebelet melakukan ketololan dengan menjambret di jalanan, itu hanyalah pertanda bahwa daerah-daerah untuk proyek penjambretan-penjambretan canggih sudah semakin menciut.


Anak-anakmu tidak terlalu siap untuk ragu-ragu terhadap kesempatan, untuk
terlampau berjudi dengan hari depan yang samara-samar; sehingga hari ini
juga mereka merasa harus memperoleh sesuatu, mendapatkan benda-benda, gengsi
dan kenkmatan seperti yang dipunyai orang-orang lain”


“Gerbong-gerbong sekolah dengan sendirinya mengangkut mereka ke hari depan
penjambretan struktural meskipun guru-guru mereka tak mengetahui hal itu.


Guru-guru mereka? yang toh manusia sehingga tetap tersisa kemanusiaannya? di
luar paparan kurikulum, memberi nasihat bahwa penjambretan itu tidak baik.
Tapi hendaklah kita catat bahwa di dalam negara dan perusahaan sekolah:
penjambretan diajarkan, sedangkan kejujuran dan kebajikan hanya dianjurkan
sesekali”


“Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam
kehidupan?


Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan
akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak
sebatang pohon, mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik
untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk menguasai dan duduk di singgasana”


“Anak-anakmu bertengger di bawah batang timbangan yang timpang antara modal
dan daya tawar menawar yang rendah dengan iming-iming hidup enak yang
meneror mereka dari hari ke hari.
Anak-anakmu dikepung oleh gegap gempita orang berebut kejayaan. Orang
jegal-menjegal. Orang menyerimpung dan diserimpung. Anak-anakmu dikepung
oleh uang dan kekuasaan yang menjadi bahasa utama dari yang mereka sangka
kemajuan. Oleh pasal-pasal hukum yang diperjual belikan. Oleh ayat-ayat
agama yang dijual eceran
. Oleh tradisi penafsiran yang sepihak. Oleh
pemaksaan yang damai, kemunafikan yang harmonis, manipulasi yang berwajah
ramah, kepalsuan yang cerah dan penghisapan yang nikmat. Anak-anakmu makin
tidak menemukan tempat untuk meneladani kejujuran. Anak-anakmu digiring
memasuki komune tempat perzinaan missal dari sejarah yang auratnya telanjang
tapi wajahnya bertopeng”


Kutinggalkan penyairku. Tampaknya aku mulai memahami kepenyairan bukanlah
sejenis bakat di mana kata-kata amat gampang ia temukan dan pilih.
Kepenyairan adalah - hampir - ketidakmampuan menemukan kata. Sebab kata
lebih sanggup mengaburkan kenyataan dibanding mewakilinya.
Dan penyairku, dengan ratusan kata-katanya itu, kukira telah berbuat curang
terhadap realitas.


Tapi ia justru tertawa keras dan berkepanjangan ketika melepasku pergi,
“Bagaimana engkau bisa menjadi sedemikian tolol untuk menyangka bahwa urusan
utama para penyair adalah kata-kata? Dengan kata-kataku itu aku tidaklah
berkata-kata. Ini kehidupan”


Emha Ainun Nadjib,

Dari Buku "Sesobek Buku Harian Indonesia",
Previous
Next Post »
0 Komentar